SUMBANGSIH AKTIVISME BERBASIS LITERASI DIGITAL
BAGI KRITIK ATAS DEMOKRASI DI ZAMAN MODERN
Penyusun: Delegasi PMKRI Cabang Semarang
Email: pmkrisemarang@gmail.com
Abstrak
Literasi digital dan kritisisme informasi sangat penting untuk menjaga muruah demokrasi, menyelamatkan demokrasi dari para penunggangnya. Literasi digital berbasis validasi data membentuk perspektif kritis atas demokrasi, upaya untuk menata ulang dan membentuk perspektif baru terhadap demokrasi yang bebas dari tendensi kepentingan politik atau ideologis tertentu. Kritik atas demokrasi tidak bertujuan menggantikannya dengan sistem yang lain tetapi menemukan bagian-bagiannya yang tidak kontekstual dengan tantangan negara modern. Kritik atas demokrasi semakin dilegitimasi dalam aktivisme digital, adanya kontribusi meningkatkan partisipasi publik dalam gerakan sosial, melalui click activism, slackativism, dan keyboard activism. Gerakan ini pun mendorong penguatan demokrasi di zaman modern.
Kata kunci: Literasi digital, aktivisme digital, dan kritik demokrasi
A. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dewasa ini diskursus demokrasi tidak lepas dari perpektif kaum muda dan kita menemukan banyak sekali media yang membahas mengenai demokrasi. Di tengah situasi tahun politik, tema demokrasi menjadi obrolan warung kopi, ceramah di mimbar keagamaan hingga lalu-lintas diskusi di dunia akademis yang rigid. Demokrasi kita menjadi semakin hidup karena transaksi pemikiran dan informasi dari yang paling santai hingga diskursus para pengamat dan pakar. Demokrasi tentu tidak bisa terbebas dari para penunggangnya. Disinformasi dan post-truth adalah musuh demokrasi. Maka dari itu, perlunya literasi digital dan kritisisme informasi yang beredar seputar wacana demokrasi.
Literasi digital mengharuskan kita membuka diri kepada media untuk menafsirkan pesan yang kita hadapi yang mana bisa kita lakukan dengan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk media (Herlina, 2012). Literasi digital sendiri ditemukan oleh John Culkin, baru kemudian pada tahun 1930, FR Leavis dan Denys Thompson menerbitkan instruksi manual untuk pengajaran media tentang Budaya dan Lingkungan: Pelatihan Kesadaran Kritis. Perkembangan literasi digital di Indonesia diinisiasi oleh Rumah Sinema (2004), Yayasan Pengembangan Media Anak (2005), dan Remotivi (2010) yang bergerak dalam program pemberdayaan komunitas, konferensi, publikasi, dan workshop.
Menurut Pradana (2018) literasi digital dimaknai sebagai kemampuan pengguna media digital dalam memperoleh, mengolah, dan menyampaikan informasi. Pengertian yang serupa disampaikan oleh Sulianta dalam bukunya berjudul “Literasi Digital, Riset dan Perkembangannya dalam Perspektif Social Studies” di mana menyatakan bahwa literasi digital merupakan satu kesatuan sikap, pemahaman, keterampilan dalam menangani dan mengkomunikasikan informasi dan menggunakan pengetahuan secara efektif pada berbagai media. Dengan perkembangan teknologi yang ada, membuat banyak orang dapat dengan mudah mengakses internet dan memperoleh informasi melalui internet yang lebih cepat dan praktis. Perkembangan ini tentunya membawa dampak yang baik bagi dunia literasi, tetapi sayangnya belum semua kalangan dapat mengakses literasi ini karena kurangnya pengetahuan mengenai teknologi yang ada. Hal ini juga diperparah dengan adanya berita-berita yang diangkat melalui persepsi dari penulis sendiri tanpa adanya dasar yang kuat, tentu menyebabkan adanya simpang siur informasi atau informasi hoax yang beredar. Maka dari itu, perlunya adanya pemikiran kritis dalam mengelola informasi yang beredar di ruang digital.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Menurut Irawan (2006) demokrasi merupakan tatanan hidup bernegara yang lahir dari tuntutan masyarakat akan persamaan hak dan kedudukan di depan hukum. Amin Rais dalam Irawan (2006) mengartikan bahwa demokrasi sebagai dasar hidup bernegara, karena rakyat yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupan mereka termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah yang menentukan kehidupan rakyat. Demokrasi sendiri sudah ada sejak abad ke-4 SM hingga abad ke-6 SM.
Dalam perkembangan demokrasi yang ada di Indonesia, terdapat beberapa fase seperti demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi pancasila pada era orde baru (1966-1998), demokrasi pasca reformasi (1998-sekarang). Pada praktek kenyataannya, demokrasi tidak selalu berjalan dinamis, namun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2006) yang menyatakan bahwa perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia telah membuktikan bahwa tidak selamanya demokrasi dilaksanakan semangat konstitusionalisme. Dalam praktek pelaksanaannya, demokrasi sering bergeser ketika peranan negara yang terwujud dalam pemerintahan melakukan pembatasan kehendak dan kekuasaan rakyat, contohnya seperti melakukan perubahan undang-undang bagi pihak yang berkuasa saja (Irawan, 2006).
Demokrasi juga terdampak oleh adanya digitalisasi, di mana informasi seputar demokrasi juga dapat dengan mudah kita temui di internet. Sebagai warga pengguna media digital, masyarakat dihimbau untuk tidak serta merta mengkonsumsi dan menyebarkan informasi, namun perlu adanya pemilahan dan pemilihan informasi yang faktual dan akurat. Penelitian ini membahas permasalahan terkait literasi digital berbasis validasi data yang membentuk perspektif kritis terhadap demokrasi dan implementasi kritik terhadap demokrasi melalui aktivisme digital di tengah era disrupsi informasi. Keduanya terkristalisasi dalam hipotesis: “Sumbangsih Aktivisme Berbasis Literasi Digital Bagi Kritik Berdemokrasi di Zaman Modern”.
- Rumusan Masalah
- Apakah literasi digital berbasis validasi data membentuk perspektif kritis terhadap demokrasi?
- Bagaimana implementasi kritik terhadap demokrasi melalui aktivisme digital di tengah era disrupsi informasi?
- Tujuan Penelitian
- Mengemukakan kajian analitis tentang literasi digital berbasis validasi data membentuk perspektif kritis terhadap demokrasi.
- Mengetahui implementasi kritik terhadap demokrasi di tengah era disrupsi informasi.
B. METODE PENELITIAN
- Pemilihan dan Pengumpulan Data
Pemilihan dan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi dokumentasi terkait literasi digital dan demokrasi di Indonesia.
- Pengukuran dan Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan pengukuran secara kualitatif.
- Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
- Literasi Digital Berbasis Validasi Data Membentuk Perspektif Kritis Terhadap Demokrasi
Demokrasi adalah rezim, tata dan sistem pemerintahan paling ideal di zaman ini. Bahwa norma tertingginya adalah kedaulatan rakyat setidaknya rezim ini menawarkan egalitarianisme atau persamaan hak kedudukan. Rezim demokrasi kemudian dipadukan dengan rule of law, makanya dikenal negara hukum demokratis. Di dalam rezim negara hukum demokratis, pengakuan hak asasi manusia dilembagakan, mengakomodasi sistem rotasi kekuasaan, distribusi kekuasaan, menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berserikat dalam sistem kepartaian, dan konstitusionalisme.
Sebagai rezim ideal, demokrasi memerlukan kritik sebagaimana dirinya sendiri memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat. Platon (424 SM-348 SM) mengawali kritik demokrasi paling fundamental. Demokrasi mendukung hasrat dan kehendak bebas yang bisa bersinggungan antara satu dengan yang lain, mendapatkan apa saja yang dikehendaki. Maka, demokrasi adalah rezim anarkis. Demokrasi memberi ruang bagi pemenuhan hasrat dan nafsu tak terbatas, sangat partikular dan individual, tidak peduli dengan bonum commune. Dengan ironis Platon memuji demokrasi yang tampak ramai, meriah, dan menyenangkan karena mampu mengakomodasi setiap selera dan pemenuhan hasrat-nafsu semua orang yang menganutnya. Demokrasi adalah bazar of constitutions, pasar hukum, di mana kebebasan digadai dengan keinginan dan tujuan masing-masing. Tidak adanya sense of duty. Demokrasi menciptakan kultur toleransi yang kebablasan.
Sebagaimana kritik Platon, demokrasi memang layak diartikan dalam perspektif yang berbeda-beda. Seiring perkembangan zaman tentu demokrasi beradaptasi sehingga cita demokrasi di zaman modern, masa reformasi tentu berbeda dengan masa sebelumnya. Maka dari itu dibutuhkan daya upaya untuk menata ulang atau membentuk perspektif baru tentang demokrasi di zaman ini.
Literasi adalah bagian dari upaya untuk menata dan membentuk perspektif kritis terhadap demokrasi. Pada hakikatnya literasi digital sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital tidak hanya berkaitan dengan membaca aksara saja, namun juga proses berpikir dan mengevaluasi informasi yang ditemukan dalam sumber digital. Dengan demikian, literasi digital bukan tindakan partikular tetapi komprehensif, tidak sebatas memiliki akses terhadap data atau informasi tetapi sampai upaya mengkritisi informasi. Tantangannya bukan bagaimana seharusnya menemukan informasi tetapi bagaimana seharusnya memanfaatkan dan memaknai informasi yang ada. Semua orang memiliki akses terhadap informasi tetapi berbeda taraf mengolahnya. Martin (2006) dalam Koltay (2011) menyampaikan konsep literasi digital sebagai kesadaran, sikap dan kemampuan individu untuk menggunakan alat dan fasilitas digital secara tepat untuk mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, menyintesis sumber daya digital, membangun pengetahuan baru, membuat ekspresi media, dan berkomunikasi dengan orang lain.
Di dalam literasi digital dengan mudah kita menemukan cuitan, komentar, opini, dan serba-serbi pandangan orang tentang demokrasi. Akan tetapi perpektif tentang demokrasi di ruang digital harus dipahami lebih lanjut apakah memiliki tendensi untuk kepentingan politik atau ideologis tertentu atau tidak. Demokrasi menurut seorang nasionalis tertentu berbeda pemaknaannya dengan seorang sosialis-demokratik, republikan, dan religius. Maka dibutuhkan sikap untuk mengambil jalan tengah dengan tinjauan akademis atau menempuh jalan membebaskan demokrasi dari para penunggangnya.
Pada sisi yang lain, literasi digital akan mengarahkan masyarakat kita untuk tidak mengidealkan demokrasi. Romantisisme monarki, totalitarianisme, dan komunisme dengan mudah ditemukan dalam opini di ruang digital. Tentu tidak ada yang salah jika itu adalah sebatas referensi atau sekadar menggali sejarah rezim yang pernah atau sedang berlaku di tiap-tiap negara. Akan tetapi sangat mengkhawatirkan jika literasi justu mengarahkan masyarakat pada sikap anti demokrasi. Misalnya cukup berkembang di kalangan Gen Z bayang-bayang hidup di bawah totalitarianime, mendambakan masyarakat yang tertib dan teratur. Negara yang gagah karena militer yang kuat. Tentu jika ditelisik bahwa tendensi ini terjadi karena Gen Z tidak memiliki trauma politik, sebatas berandai-andai karena glorifikasi perjuangan dan revolusi melawan totalitarianime.
Maka daripada itu, literasi digital hendaknya mengarahkan masyarakat untuk semakin memiliki perpektif kritis atas demokrasi. Kritik atas demokrasi tidak bertujuan menggantikannya dengan sistem yang lain tetapi menemukan bagian-bagiannya yang tidak kontekstual dengan tantangan negara modern. Sebagaimana kritik Platon, bahwa demokrasi adalah sistem yang transaksional dengan toleransi yang kebablasan, maka sistem ini hendaknya menjamin pembatasan hak kehendak bebas yang sebebas-bebasnya dan meninggalkan habitus transaksional. Demokrasi seyogyanya mengantarkan masyarakat pada bonum commune, di mana hasrat-nafsu individual dan partikular harus dibatasi. Kritik atas demokrasi juga hendaknya tidak mengantar kita pada sikap radikal untuk menjadi anti demokrasi. Bahwa sistem monarki, totalitarianisme, sosialisme, dan komunisme adalah sistem pembanding yang bisa menjadi acuan kritik terhadap rezim demokrasi.
Masyarakat Indonesia secara sosiologis dan antropologis seyogyanya menjadikan demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang ideal. Sikap anti demokrasi sangat tidak tepat bagi negara dengan identitas multikulturalisme.
- Implementasi Kritik Terhadap Demokrasi Melalui Aktivisme Digital di Era Disrupsi Informasi
Era disrupsi meniadakan batas ruang dan waktu. Dampak negatif dari disrupsi teknologis era industri 4.0 diartikulasikan secara tajam oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019). Keserbahadiran teknologi digital, kecerdasan buatan, big data, otomatisasi dan konektivitas virtual menjadi katalis kemunculan surveillance capitalism (SC). SC atau kapitalisme pengawasan yang secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah yang secara bebas bisa diubah jadi data perilaku (Kompas, 31/5/2022).
Disrupsi informasi semakin terlegitimasi karena adanya aktivisme digital. Masyarakat Indonesia sangat antusias mengadopsi platform digital. Aktivisme digital melahirkan techno-utopianism terutama dalam kaitannya dengan harapan akan pertumbuhan perekonomian digital di Indonesia. Aktivisme digital mendorong berbagai aktivitas masyarakat sipil terutama dalam konteks negara demokrasi. Pada tataran konseptual, terminologi atau frasa aktivisme digital masih menjadi perdebatan. Meskipun demikian, adanya pakem kesepakatan bahwa “digital” adalah reliabilitas, skala, dan biaya rendah yang ditawarkan teknologi digital, dan hal ini memungkinkan terjadinya perluasan jangkauan dan ruang lingkup aktivisme kontemporer.
Aktivisme digital berkontribusi meningkatkan partisipasi publik dalam gerakan sosial, maka dikenal click activism, slackativism, dan keyboard activism. Dalam praktik aktivisme itu, teknologi digital tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk “berbicara secara lebih cepat dan luas” namun juga untuk “mendengarkan secara lebih seksama dan mendalam” secara digital. Karpf mengeksplorasi isu ini dalam konsepnya “analytic activism”, yang lebih melihat bagaimana para aktivis dapat mengubah data yang berserakan di internet menjadi sumber daya yang berharga untuk memperbaharui strategi dan taktik yang dapat dilakukan oleh sebuah organisasi (Karpf, 2018).
Era disrupsi turut membentuk pola gerakan baru dalam negara demokratis dengan adanya aktivisme digital. Implementasi kritik terhadap demokrasi karena aktivisme digital telah berlaku di Timur Tengah dan Amerika Serikat. Tercatat bahwa Facebook dan Twitter digunakan untuk membagikan informasi, menggalang massa, dan menumbangkan penguasa. Di Amerika Serikat, melalui sebuah survei diketahui, separuh warga terlibat dalam aktivisme politik di media sosial. Keterlibatan warganet dalam aktivisme itu terbagi dalam beberapa tindakan, seperti membuat forum dukungan, ajakan ke rekannya untuk terlibat dalam aksi, dan mencari informasi terkait dengan isu politik di platform media sosial (Kompas, 13/2/2020). Di Indonesia, aktivisme digital menjadi gerakan sosial yang subversif dan tumbuh secara organik di tengah masyarakat, sebagaimana riset Yanuar Nugroho bahwa aktivisme ini bisa diadopsi dan dimanfaatkan oleh organisasi masyarakat sipil dengan tepat, strategis, serta efektif.
Aktivisme digital bukanlah sebuah fenomena tercipta dalam ruang vakum. Baik keberhasilan, kegagalan, peluang, tantangan, maupun hambatan, semuanya niscaya terjadi. Latar belakang tingkat literasi masyarakat Indonesia secara rata-rata masih tergolong rendah (Aprionis, 2019). Tidak adanya pemetaan sistematis tentang tingkat literasi digital di Indoensia, sporadis, tidak terkoordinasi dengan baik, dan tidak didukung maupun menghasilkan data yang dapat ditelaah lebih lanjut (Kurnia & Astuti, 2017).
Aktivisme digital ini mendukung upaya penguatan demokrasi. Ada tiga mekanisme besar yakni “Roots, Routes, and Routers” atau “akar, rute, dan router” yang dapat menjadi acuan analisis aktivisme digital. Roots adalah penggalian akar permasalahan sosial ditelisik dari faktor historis dan kontekstual. Sementara Routes atau kompleksitas komunikasi, media, dan ruang-ruang yang digunakan dalam sebuah gerakan sosial, bagaimana “ide” tentang gerakan muncul, mengkristal, berkembang, menyebar dan menjadi gerakan yang nyata. Sedangkan routers sebagai konektivitas, aktor dan jaringan, bagaimana infrastruktur teknologi komunikasi seperti kombinasi antara yang digital dan analog, peran manusia dan mesin, serta interaksi dan peran media yang tradisional (konvensional) maupun kontemporer dalam sebuah pergerakan sosial (Lim, 2018).
Di dalam negara hukum demokratis, aktivisme digital ini tentu dilegitimasi. Ini adalah alternatif gerakan yang memberi rasa baru demokrasi di negara modern. Di tengah era disrupsi informasi di mana segala kemungkinan bisa terjadi terutama berhadapan dengan post-truth dan relativisme informasi. Tantangan kita adalah bagaimana mencari kebenaran dan bukan pembenaran, segrerasi kelompok kepentingan sangat nyata terjadi di ruang digital. Bahwa semua orang berhak menyuarakan ideologi dan preferensi politiknya khususnya situasi Indonesia di tengah tahun politik.
Demokrasi yang disusupi post-truth dapat dipastikan sangat merugikan karena siapa yang menguasai media dan algoritma teknologi akan tampil sebagai kelompok dominan padahal ia menawarkan sistem dan kebijakan yang tidak pro kemaslahatan bersama. Dengan demikian kita tidak bisa mencegah bagaimana orang jahat menjadi penguasa dan menjadi penunggang gelap demokrasi.
Pada akhirnya, implementasi kritik demokrasi di era disrupsi adalah terlibat aktif dalam aktivisme digital. Kita harus berani menawarkan gagasan alternatif bagi setiap gagasan yang disusupi kepentingan tertentu dalam memaknai demokrasi. Post-truth memang merupakan keniscayaan tetapi niscaya juga model gerakan aktivisme baru untuk melawannya. Menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga muruah demokrasi berhadapan dengan gerakan “kebablasan kebebasan” yang merusak demokrasi dari dalam dirinya sendiri. Di kalangan muda, aktivisme digital ini seyogyanya hidup dan berkelanjutan karena potensi bonus demografi di masa mendatang, meskipun banyak yang berpendapat bahwa aktivisme digital kaum muda tidak memenuhi syarat sebagai aktivisme sejati, dan mempromosikan slacktivisme. Seperti yang diungkapkan dalam Slacktivists or Activists? Millennial Motivations And Behaviors For Engagement In Activism, aktivisme media sosial tidak efektif karena tidak lebih dari ”push button activism” (Dookhoo & Dodd, 2019). Bagi kaum muda, bersuara di media sosial adalah cara terbaik yang dapat dilakukan dalam merespons peristiwa-peristiwa yang ada. Faktanya, pesan-pesan aktivisme kaum muda di media sosial justru memiliki kecenderungan kuat memengaruhi publik ketimbang mereka yang turun ke jalan. Maka, menawarkan gagasan mereka kepada publik adalah bagian dari komponen dan kekuatan penting dari aktivisme digital itu sendiri (Kompas, 1/10/2022). Dengan demikian, hendaknya kita tidak menegasi peran kaum dalam kritik demokrasi di zaman ini. Peran dan kontribusi kaum muda hendaknya dimanfaatkan aktor politik dan pemerintahan agar gerakannya diarahkan untuk semakin memperkuat demokrasi dan menumbuhkan kritik yang semakin memperkokoh legitimasi rezim demokrasi.
C. PENUTUP
Demokrasi adalah rezim ideal di zaman modern. Indonesia sebagai negara dengan identitas multikulturalisme butuh penguatan sendi-sendi berdemokrasi. Literasi digital hendaknya mengarahkan masyarakat untuk semakin memiliki perpektif kritis atas demokrasi. Kritik atas demokrasi tidak bertujuan menggantikannya dengan sistem yang lain tetapi menemukan bagian-bagiannya yang tidak kontekstual dengan tantangan negara modern. Kritik atas demokrasi juga hendaknya tidak mengantar kita pada sikap radikal untuk menjadi anti demokrasi.
Sumbangsih aktivisme digital sangat signifikan bagi kritik atas demokrasi untuk membebaskan demokrasi dari para penumpang gelap dan menawarkan gagasan alternatif. Peran dan kontribusi kaum muda dalam aktivisme digitak hendaknya tidak dinegasikan tetapi dimanfaatkan aktor politik dan pemerintahan agar gerakannya diarahkan untuk semakin memperkuat demokrasi dan menumbuhkan kritik yang semakin memperkokoh legitimasi rezim demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Detta Rahmawan, dkk, Strategi Aktivisme Digital di Indonesia: Aksesibilitas, Visibilitas, Popularitas dan Ekosistem Aktivisme, Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 4, No. 2, April 2020
Mochamad Iqbal Jatmiko, Post-Truth, Media Sosial, dan Misinformasi: Pergolakan Wacana Politik Pemilihan Presiden Indonesia Tahun 2019, Jurnal Tabligh Volume 20 No. 1, Juni 2019
Setyo Wibowo, 2017, PAIDEIA: Filsafat Pendidikan dan Politik Platon, Yogyakarat: PT. Kanisius
Dwi, A. (2023, July 26). Demokrasi di Indonesia : Pengertian dan Sejarahnya. FISIP UMSU. Retrieved November 9, 2023, from https://fisip.umsu.ac.id/2023/07/26/demokrasi-di-indonesia-pengertian-dan-sejarahnya/
FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, & FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (n.d.). MEDIA SOSIAL SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENGEMBANGKAN LITERASI DIGITAL WARGA NEGARA. MEDIA SOSIAL SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENGEMBANGKAN LITERASI DIGITAL WARGA NEGARA, 2(1), 10. https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/psnp/article/view/5636/4041
Politeknik Negeri Media Kreatif. (2018, December). ATRIBUSI KEWARGAAN DIGITAL DALAM LITERASI DIGITAL. ATRIBUSI KEWARGAAN DIGITAL DALAM LITERASI DIGITAL, 3(2), 15. https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/UCEJ/article/view/4524/3247
Sulianta, F. (n.d.). Literasi Digital, Riset dan Perkembangannya dalam Perspektif Social–Studies.https://books.google.co.id/books
UNTAG Semarang. (2006). PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI NEGARA INDONESIA. PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI NEGARA INDONESIA, (ISSN : NO. 0854-2031), 11. Retrieved 11 9, 2023, from https://core.ac.uk/download/pdf/249338105.pdf